Di tengah arus deras informasi dan perubahan sosial yang begitu cepat, pustakawan kini memegang peran luas daripada sekadar penjaga koleksi buku atau pengatur layanan di perpustakaan. Di lembaga pendidikan tinggi keagamaan seperti tempat tugas saya di IAIN Parepare, profesi pustakawan wajib menjadi menjadi bagian atau garda terdepan dalam membentuk masyarakat (pemustaka) yang cerdas, kritis, dan berakhlak.
Peran- peran pustakawan ini sejalan dengan pandangan Michael Buckland (1991) yang memaknai informasi sebagai proses (information-as-process), bukan sekadar benda (information-as-thing). Dalam konteks ini, pustakawan adalah fasilitator transformasi sosial melalui proses pengelolaan layanan, penegembangan koleksi dan diseminasi informasi dan pengetahuan.
Pustakawan memiliki tanggung jawab moral dan intelektual dalam menjembatani kebutuhan informasi sivitas akademika dengan sumber daya yang relevan. Melalui layanan literasi informasi, pustakawan membantu mahasiswa dan dosen memahami bagaimana menilai, mengolah, dan menggunakan informasi secara etis dan berkeadaban. Di era banjir informasi seperti sekarang, kemampuan tersebut menjadi kunci dalam mencegah penyebaran hoaks dan membangun masyarakat yang berpengetahuan. Dikemukakan oleh Marcia J. Bates (2005), informasi baru bermakna ketika diolah menjadi pengetahuan yang dapat mengubah pemahaman manusia. Dengan demikian, pustakawan berperan dalam mengubah data dan informasi menjadi kebijaksanaan sosial.
Pandangan lain datang dari R. David Lankes (2011) yang menegaskan bahwa misi pustakawan adalah “memfasilitasi penciptaan pengetahuan dalam lingkungannya.” Pandangan ini menempatkan pustakawan sebagai agen sosial yang membantu masyarakat membangun dialog, menalar secara kritis, dan menemukan solusi terhadap persoalan kehidupan.
Di IAIN Parepare, semangat ini dapat diwujudkan melalui kegiatan literasi informasi, bimbingan pemakai perpustakaan, kajian keilmuan, pelatihan dan riset, serta pendampingan akademik dan komunitas keagamaan dan literasi. Pustakawan bukan hanya bekerja di ruang baca, tetapi juga berinteraksi langsung dengan masyarakat untuk memperkuat budaya literasi dan religiusitas berbasis ilmu dengan banyak memberi dukungan informasi.
Selain di ranah akademik, pustakawan juga menjadi motor penggerak perubahan sosial di masyarakat. Program perpustakaan berbasis inklusi sosial yang kini banyak dikembangkan di Indonesia menunjukkan bagaimana pustakawan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui akses pengetahuan dan informasi, pelatihan keterampilan digital, dan pemberdayaan komunitas literasi. Pustakawan menjadi agen pembaruan sosial yang bekerja dalam senyap menyebarkan ilmu, menumbuhkan semangat belajar, dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan. Kepahlawanan pustakawan tidak tampak dalam medan perang, melainkan dalam kerja sunyi mendidik bangsa.
Oleh karena itu, pustakawan masa kini dituntut memiliki kecakapan dan literasi digital, kemampuan pedagogis, dan kepekaan sosial. Di Lembaga Pendidikan tinggi, nilai-nilai keislaman yang berpadu dengan profesionalisme pustakawan menjadikan profesi ini tidak hanya teknis, tetapi juga spiritual. Pustakawan adalah pahlawan pengetahuan, penggerak moral, dan penyambung ilmu bagi generasi masa depan. Dalam dunia yang terus berubah, pustakawan sejati adalah mereka yang tetap teguh pada misinya: mencerdaskan kehidupan umat melalui informasi yang mencerahkan.
Daftar Pustaka
· Bates, M. J. (2005). Information and Knowledge: An Evolutionary Framework for Information Science. Information Research, 10(4).
· Buckland, M. K. (1991). Information as Thing. Journal of the American Society for Information Science, 42(5), 351–360.
· Lankes, R. D. (2011). The Atlas of New Librarianship. MIT Press.
· Kementerian Desa PDTT. (2019). Panduan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial. Jakarta: Perpusnas RI.